Kesehatan

Konsumsi Daging Unggas dan Risiko Kanker Saluran Pencernaan: Analisis Studi Terbaru dan Implikasinya bagi Pola Makan Sehat

Konsumsi Daging Unggas dan Risiko Kanker Saluran Pencernaan: Analisis Studi Terbaru dan Implikasinya bagi Pola Makan Sehat
- +
14px

QAPLO – Studi terbaru dari Italia Selatan menemukan hubungan antara konsumsi daging unggas berlebih dengan peningkatan risiko kanker saluran pencernaan dan mortalitas. Artikel ini mengulas hasil penelitian, keterbatasan, serta pandangan ahli tentang bagaimana menginterpretasi temuan tersebut dalam konteks diet seimbang.

Studi Terbaru Hubungkan Konsumsi Daging Unggas Berlebih dengan Risiko Kanker dan Mortalitas: Apa yang Harus Kita Ketahui?

Sebuah penelitian terbaru yang dilakukan di wilayah Italia Selatan mengungkapkan temuan mengejutkan yang mengaitkan konsumsi daging unggas secara rutin dengan peningkatan risiko kanker saluran pencernaan serta kematian akibat berbagai penyebab (all-cause mortality). Studi ini menimbulkan pertanyaan penting: Apakah konsumsi ayam dan kalkun benar-benar seaman dan sehebat yang selama ini diyakini?

Temuan Utama Studi

Penelitian ini menunjukkan bahwa mengonsumsi lebih dari 300 gram daging unggas per minggu—melampaui batas yang direkomendasikan—berkorelasi dengan peningkatan risiko kematian 27% dibandingkan konsumsi moderat. Selain itu, risiko kanker saluran pencernaan meningkat sebesar 2,3%, dengan peningkatan risiko yang sedikit lebih tinggi pada pria, yakni 2,6%. Temuan ini dipublikasikan dalam jurnal Nutrients dan bertentangan dengan pedoman diet populer seperti Mediterranean diet, yang menganggap daging unggas sebagai komponen penting.

Pendapat Ahli: Interpretasi Hati-hati Dibutuhkan

Kami mewawancarai dua ahli ternama: Dr. Wael Harb, hematolog dan onkologis medis, serta Kristin Kirkpatrick, ahli diet terdaftar, untuk membahas implikasi studi ini. Keduanya menegaskan bahwa hubungan dari studi observasional seperti ini tidak dapat dianggap sebagai bukti sebab-akibat.

Dr. Harb menyatakan:
“Temuan ini menarik, namun sebagai studi observasional, hasilnya tidak membuktikan hubungan sebab-akibat. Bukti ilmiah yang lebih luas masih mendukung konsumsi daging unggas secara moderat dalam pola makan seimbang.” Ia juga menekankan pentingnya berhati-hati dalam menafsirkan hasil dan mengingat bahwa daging unggas adalah bagian integral dari diet sehat seperti Mediterranean diet yang terbukti mengurangi risiko kanker dan penyakit jantung.

Kompleksitas Penyebab Kanker

Kristin Kirkpatrick menambahkan bahwa kanker merupakan penyakit multifaktorial yang sangat kompleks. Faktor genetik, lingkungan, pola makan, aktivitas fisik, paparan racun, usia, dan peradangan semuanya berkontribusi. Oleh karena itu, konsumen harus mempertimbangkan konteks gaya hidup secara keseluruhan.

Sebagai contoh, merokok adalah faktor risiko signifikan yang harus diatasi terlebih dahulu sebelum mengurangi konsumsi ayam sebagai prioritas utama kesehatan.

Peran Metode Memasak dan Pengolahan

Kedua ahli juga menyoroti bahwa risiko kanker yang berasosiasi dengan konsumsi daging unggas mungkin lebih berkaitan dengan cara pengolahan dan memasak makanan tersebut, bukan jenis dagingnya sendiri.

Memasak pada suhu tinggi, seperti menggoreng atau membakar, dapat menghasilkan senyawa karsinogenik seperti heterosiklik amina (HCA) dan hidrokarbon aromatik polisiklik (PAH), yang juga ditemukan pada daging merah dan olahan.

Kristin Kirkpatrick menjelaskan:
“Makanan olahan seperti nugget ayam beku atau ayam goreng berlapis tepung memiliki risiko kesehatan berbeda dibandingkan dada ayam panggang polos.”

Perdebatan Putih vs Merah

Meski daging putih (ayam, kalkun) memiliki kandungan lemak lebih rendah dibanding daging merah, sebuah studi 2019 menunjukkan bahwa keduanya dapat memengaruhi kadar kolesterol LDL dan apolipoprotein B secara serupa. Studi terbaru ini juga belum mengidentifikasi jenis spesifik daging unggas yang dikonsumsi, sehingga sulit mengaitkan risiko secara tepat.

Keterbatasan Studi dan Rekomendasi Riset Selanjutnya

Studi ini memiliki keterbatasan, seperti tidak mempertimbangkan sumber unggas, penggunaan pestisida, antibiotik, hormon pada unggas industri, metode memasak, serta pola makan dan aktivitas fisik partisipan.

Dr. Harb menekankan pentingnya studi lanjutan yang lebih terstruktur untuk mengkaji faktor-faktor ini secara komprehensif, termasuk penelitian yang mempertimbangkan jenis kelamin karena risiko lebih tinggi pada pria.

Saran Ahli untuk Konsumen

Kristin Kirkpatrick menyarankan bahwa studi ini tidak cukup untuk mengubah rekomendasi konsumsi daging unggas. Ia menekankan pentingnya pola makan seimbang yang kaya buah, sayur, serat, biji-bijian utuh, lemak sehat, dan protein nabati serta ikan.

Dr. Harb menambahkan bahwa batas konsumsi daging unggas yang dianjurkan saat ini adalah maksimal 300 gram per minggu, terutama jenis tanpa kulit, minim pengolahan, dan dimasak dengan cara yang sehat.

Untuk individu dengan kondisi kesehatan khusus atau riwayat kanker keluarga, mengurangi konsumsi hingga sekitar 200 gram per minggu dan memperbanyak sumber protein nabati bisa menjadi pilihan bijak.

Kesimpulan

Temuan studi dari Italia Selatan menyoroti potensi risiko kesehatan dari konsumsi daging unggas berlebih, khususnya terkait kanker saluran pencernaan dan kematian. Namun, keterbatasan dan sifat observasional studi membuatnya harus ditafsirkan dengan hati-hati dan tidak serta-merta mengubah pedoman diet yang ada.

Faktor utama yang perlu diperhatikan adalah cara memasak, pengolahan makanan, serta pola hidup dan diet secara keseluruhan. Konsumsi daging unggas moderat dalam konteks diet seimbang tetap merupakan pilihan sehat bagi kebanyakan orang.

Referensi

Nutrients Journal

Dr. Wael Harb, MD – MemorialCare Cancer Institute

Kristin Kirkpatrick, MS, RD – Cleveland Clinic

Mediterranean Diet Guidelines

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE