Kasus Ripin: Dugaan Pembunuhan Berantai dalam Keluarga Demi Uang Asuransi
Kualanamu, Sumatera Utara – Kasus kematian tragis remaja bernama Ripin kembali mengguncang publik. Ia ditemukan tak bernyawa di sebuah parit kebun sawit di kawasan Emplasmen Kualanamu. Namun yang membuat geger bukan hanya kematiannya, tetapi rentetan kematian misterius dalam keluarganya yang mengarah pada dugaan kejahatan berantai demi klaim asuransi.
Ripin tercatat memiliki tiga polis asuransi jiwa senilai Rp4,5 miliar. Sayangnya, bukan untuk biaya pendidikan atau masa depan, melainkan diduga untuk pembiayaan kematiannya sendiri. Sebuah fakta mengerikan yang menjadi titik awal investigasi yang kini mengarah pada sang bibi tercinta—orang yang selalu ada di setiap momen kematian dalam keluarga.
Kematian Demi Asuransi: Bukan Kasus Pertama
Sebelum Ripin, sang ayah—yang juga kakak kandung dari sang bibi—meninggal mendadak dengan mulut berbusa, tepat di hadapan wanita yang sama. Tak lama berselang, kakak Ripin pun ditemukan tewas setelah menyantap mie instan di rumah sang bibi. Lagi-lagi, polis asuransi cair, dan dana menguap bersama nyawa.
Polanya tampak konsisten: keluarga diasuransikan, kemudian meninggal dalam kondisi mencurigakan, dan sang bibi mengurus semua pencairan dana asuransi. Bahkan Rudi, kakak Ripin yang masih hidup, kabarnya sudah diam-diam diasuransikan.
Motif Finansial dan Dugaan Kejahatan Terencana
Banyak yang bertanya, apakah ini kebetulan beruntun atau kejahatan yang dirancang dengan rapi? Bila benar ini sebuah skenario, maka pelakunya patut dicurigai telah menjadikan keluarga sendiri sebagai “investasi kematian”—lebih sunyi dari perampokan, lebih menguntungkan dari saham.
Pengacara keluarga, Mardi Sijabat, menyatakan bahwa minimal dua alat bukti telah cukup untuk menetapkan tersangka. Namun, proses hukum tampak lamban. Sejumlah pihak, termasuk anggota Komisi A DPRD Sumatera Utara Budi Sumalim, mendesak polisi untuk bertindak cepat sebelum korban berikutnya jatuh.
Apakah Hukum Kita Sedang Tidur?
“Kita butuh penyidik, bukan pencerita ulang. Kita butuh bukti, bukan belasungkawa,” ujar Budi Sumalim dalam pernyataan resminya. Ia menyayangkan respon lambat penegak hukum terhadap kasus dengan pola berulang dan motif yang sangat jelas.
Kematian Ripin tak lagi hanya soal nyawa yang melayang. Ini tentang bagaimana seseorang dari dalam keluarga bisa menjadi ancaman terbesar, menyusup dengan wajah manis dan pena polis, lalu merampas hidup demi uang pertanggungan.
Integritas Penegak Hukum Diuji
Jika kasus ini gagal diungkap, maka publik patut bertanya: siapa yang benar-benar dikubur—Ripin, atau integritas hukum kita? Ini bukan sekadar kasus pembunuhan. Ini potret kejahatan domestik yang terstruktur dan terencana, yang bersembunyi di balik nama cinta dan kata “keluarga”.
Ripin telah tiada. Tapi suaranya masih terdengar lewat jejak kematiannya. Bila aparat tak segera bertindak, bukan tidak mungkin, generasi kita akan tumbuh dengan ketakutan, bukan pada dunia luar, tapi pada diamnya hukum terhadap kejahatan yang ada di dalam rumah.