Indonesia tegaskan komitmen dalam membangun tata kelola kecerdasan artifisial (AI) yang etis, inklusif, dan berkelanjutan di Forum Global UNESCO 2025 di Bangkok. Fokus pada kolaborasi internasional, etika AI, dan regulasi konkret untuk negara berkembang.
Qaplo – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) kembali menunjukkan kepemimpinannya dalam pengembangan kecerdasan artifisial (AI) yang bertanggung jawab. Dalam 3rd UNESCO Global Forum on the Ethics of Artificial Intelligence yang berlangsung di Bangkok, Thailand, Wakil Menteri Komdigi Nezar Patria menegaskan pentingnya kolaborasi internasional dan tata kelola AI yang etis serta inklusif bagi negara-negara berkembang.
Nezar menyampaikan bahwa Indonesia telah merancang Strategi Nasional AI sejak tahun 2020 melalui proses konsultasi dengan berbagai pemangku kepentingan. Tujuannya adalah agar inovasi AI tidak hanya mendorong pertumbuhan teknologi, tetapi juga memberikan manfaat yang adil dan berkelanjutan, terutama bagi kawasan Global South.
Menurut Nezar, Indonesia telah mengintegrasikan prinsip UNESCO Recommendation on the Ethics of AI (2021) ke dalam kebijakan nasional, di antaranya:
- Mengembangkan Peta Jalan AI berbasis Etika yang melibatkan multi-stakeholder.
- Melaksanakan AI Readiness Assessment Map (AI-RAM) untuk memetakan potensi dan tantangan AI nasional.
- Menerbitkan Surat Edaran Etika AI sebagai acuan awal bagi industri dan sektor publik.
- Menjadikan UU ITE dan UU PDP sebagai pilar hukum dalam pemrosesan data berbasis AI.
Pemerintah juga tengah membangun ekosistem SDM digital nasional, dengan target mencetak 9 juta talenta digital hingga 2030, termasuk bidang AI. Kurikulum pendidikan pun diperbarui agar mencakup literasi dan etika AI sejak dini.
Dalam forum internasional tersebut, Nezar mengusulkan tiga langkah kolektif global:
- Membentuk platform multistakeholder untuk harmonisasi standar etika dan kebijakan AI global.
- Mendorong kerja sama Selatan-Selatan (South-South Cooperation) dalam berbagi pengetahuan AI.
- Menerapkan penilaian dampak etika sistematis dalam seluruh proyek AI lintas negara.
Nezar juga menyoroti tantangan besar yang dihadapi negara berkembang, seperti kesenjangan infrastruktur AI, keterbatasan SDM, dan perluasan regulasi tanpa menghambat inovasi. Oleh karena itu, kerja sama regional menjadi sangat krusial.
Forum yang berlangsung pada 24–27 Juni 2025 ini dihadiri lebih dari 194 negara dan berbagai pemimpin dunia, termasuk dari Malaysia, Kolombia, Prancis, Uni Eropa, Afrika Selatan, dan Uruguay. Acara ini dipandu oleh Dafna Feinholz, Direktur Divisi Riset, Etika, dan Inklusi UNESCO.
Melalui partisipasi aktif ini, Indonesia memperkuat peran strategisnya dalam membangun tata kelola AI global yang berlandaskan nilai kemanusiaan, hak asasi manusia, dan keadilan sosial. Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa transformasi digital harus dilaksanakan secara adil, bertanggung jawab, dan tidak meninggalkan satu pun negara di belakang.