Empat pulau dikembalikan ke Aceh oleh Presiden Prabowo. Bobby Nasution harus menerima kekalahan simbolik dalam duel politik paling panas tahun ini.
Kembalinya empat pulau ke wilayah Aceh menjadi babak penting dalam sejarah administratif Indonesia. Bukan hanya soal geografi, tetapi juga tentang simbol kekuasaan dan legitimasi politik. Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, harus menelan pil pahit setelah keputusan Presiden Prabowo pada 17 Juni 2025 yang mengembalikan Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek ke Provinsi Aceh.
Sengketa ini bermula dari Keputusan Mendagri tertanggal 25 April 2025 yang menyatakan keempat pulau tersebut berada di bawah administrasi Sumatera Utara. Bobby yang juga menantu Presiden ke-7 RI, tampil percaya diri dengan membawa dokumen legalitas. Ia bahkan mengusung narasi “kolaborasi” di berbagai forum nasional, berharap legitimasi administratif cukup kuat menjadi dasar pengakuan.
Namun, Gubernur Aceh, Muzakir Manaf alias Mualem, memiliki pendekatan yang berbeda. Ia tidak banyak bicara, tetapi segera bergerak dengan strategi politik tingkat tinggi. Mualem mengaktifkan jaringan komunikasi nasionalnya dan langsung menyodorkan bukti-bukti sejarah, termasuk peta era Hindia Belanda dan tata ruang lokal, kepada Presiden Prabowo.
Akhirnya, keputusan tertinggi negara berpihak pada sejarah. Menteri Sekretaris Negara secara resmi mengumumkan bahwa keempat pulau tersebut kembali menjadi bagian sah Provinsi Aceh. Presiden Prabowo menilai, masalah ini bukan sekadar tumpang tindih administrasi, tetapi sebuah kesalahan historis yang perlu diluruskan.
Kekalahan Bobby bukan sekadar teknis, ini adalah kekalahan simbolik. Ia datang dengan dokumen formal, tetapi pulang dengan pelajaran penting: wilayah bukan hanya soal surat keputusan, melainkan juga kehormatan, sejarah, dan persepsi masyarakat. Status sebagai bagian dari lingkaran istana pun tak cukup untuk menundukkan kekuatan legitimasi sejarah dan diplomasi cerdas.
Sengketa ini juga membuka mata publik bahwa kesalahan administratif bisa berdampak besar jika dibiarkan. Program Rupabumi Nasional 2009 diduga menjadi awal kekeliruan karena ketidaktepatan dalam verifikasi nama dan lokasi pulau. Ironisnya, kesalahan tersebut sempat dijadikan dasar keputusan resmi.
Kini, keempat pulau telah “pulang” ke Aceh tanpa sorak-sorai berlebihan. Aceh menutup babak panjang ini dengan elegan, sedangkan Sumatera Utara, khususnya Bobby Nasution, menghadapi kenyataan pahit bahwa retorika tidak selalu mampu mengalahkan akar sejarah.
Satu hal yang perlu diingat para pemimpin: peta bukan sekadar garis batas, melainkan cermin kehormatan. Dan kehormatan, seperti tanah air, tak bisa dipindahkan lewat spreadsheet ataupun retorika politis semata.