Qaplo – Ganja medis kerap disebut bisa mengatasi gangguan mental seperti depresi dan kecemasan. Namun, studi terbaru menunjukkan bukti manfaatnya masih sangat terbatas. Simak hasil analisis ilmiahnya di sini.
Ganja Medis dan Kesehatan Mental: Fakta Ilmiah di Balik Klaim Manfaatnya
Di Indonesia, ganja masih tergolong sebagai narkotika golongan I dan penggunaannya dilarang, baik untuk rekreasi maupun pengobatan. Namun, perdebatan mengenai legalisasi ganja medis terus mencuat, terutama karena potensi tanaman ini yang disebut-sebut dapat membantu mengatasi berbagai masalah kesehatan, termasuk gangguan mental.
Apa Itu Ganja dan Bagaimana Cara Kerjanya?
Ganja atau mariyuana berasal dari tanaman Cannabis sativa, yang mengandung lebih dari 100 senyawa kimia aktif, dikenal sebagai cannabinoid. Dua senyawa yang paling banyak diteliti adalah tetrahydrocannabinol (THC) dan cannabidiol (CBD). Keduanya bekerja dengan memengaruhi sistem saraf pusat melalui reseptor tertentu di otak.
CBD banyak disebut sebagai senyawa yang bersifat non-psikoaktif dan dianggap memiliki manfaat terapeutik, sementara THC dikenal menimbulkan efek “high” atau euforia, serta memicu efek psikotropika.
Klaim Manfaat untuk Gangguan Mental: Didukung Bukti atau Hanya Narasi?
Banyak pendukung legalisasi ganja medis percaya bahwa tanaman ini bisa menjadi alternatif pengobatan untuk gangguan kesehatan mental seperti:
- Depresi
- Gangguan kecemasan
- PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder)
- ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder)
- Psikosis
- Sindrom Tourette
Namun, sebuah penelitian besar yang dilakukan oleh tim ilmuwan Australia, dan dipublikasikan di The Lancet Psychiatry, menganalisis 83 studi ilmiah terkait efektivitas ganja medis dalam pengobatan kondisi-kondisi tersebut. Hasilnya?
“Tidak ada bukti berkualitas tinggi yang bisa memastikan bahwa ganja efektif dan aman digunakan untuk mengobati gangguan kesehatan mental,” jelas Prof. Louisa Degenhardt dari University of New South Wales, Sydney.
Ganja Medis Kerap Diresepkan, Meski Tak Diutamakan
Penelitian menunjukkan bahwa ganja medis kadang digunakan sebagai terapi tambahan, bukan sebagai pengobatan utama untuk gangguan mental. Dalam beberapa kasus, ganja membantu mengurangi rasa nyeri atau mual akibat pengobatan kanker atau penyakit kronis lainnya, yang secara tidak langsung meringankan gejala mental seperti stres atau kecemasan.
Namun, perlu digarisbawahi: ganja tidak secara langsung menyembuhkan gangguan mental. Efeknya lebih bersifat suportif, bukan kuratif.
Risiko Penggunaan Ganja Secara Sembarangan
Mengonsumsi ganja tanpa pengawasan medis bisa memicu:
- Peningkatan risiko psikosis
- Gangguan persepsi dan memori
- Ketergantungan jangka panjang
- Gangguan suasana hati
Terlebih lagi, bagi individu yang sudah memiliki kerentanan genetik atau riwayat keluarga dengan gangguan jiwa, ganja justru bisa menjadi pemicu yang memperparah kondisi.
Legal atau Tidak, Ganja Bukan Solusi Utama untuk Gangguan Mental
Meski ganja medis masih menjadi topik hangat, terutama dalam wacana legalisasi di Indonesia, hingga kini belum ada bukti kuat dan konsisten yang membenarkan penggunaannya untuk mengobati gangguan kesehatan mental secara langsung.
Sebelum mengambil kesimpulan sendiri atau mengikuti tren, masyarakat disarankan untuk lebih bijak dan selalu merujuk pada bukti ilmiah terbaru, bukan hanya klaim sepihak dari komunitas atau media sosial.
Q: Apakah ganja bisa menyembuhkan depresi?
A: Belum ada bukti ilmiah berkualitas tinggi yang menunjukkan ganja secara langsung dapat menyembuhkan depresi.
Q: Apa beda ganja medis dan ganja biasa?
A: Ganja medis menggunakan ekstrak cannabinoid dalam dosis dan bentuk yang dikontrol, sedangkan ganja biasa digunakan secara rekreasi tanpa pengawasan medis.
Q: Apakah ganja legal di Indonesia?
A: Tidak. Ganja masih dikategorikan sebagai narkotika golongan I dan ilegal di Indonesia.