QAPLO – Demo Ojol besar-besaran pengemudi ojek online di Jakarta menyoroti potongan aplikasi dan status kemitraan. Apakah saatnya pemerintah membuat aplikasi ojol sendiri demi kesejahteraan dan mengurangi pengangguran?
Tanggal 20 Mei 2025 jadi momen penting buat para driver ojek online di Indonesia. Ribuan pengemudi dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan kota lainnya kompak demo. Mereka serentak matikan aplikasi, mogok narik, dan turun ke jalan. Aksi ini nggak main-main—mereka menuntut tarif yang adil, pengakuan hukum, dan perlindungan kerja yang jelas.
Tapi satu pertanyaan penting muncul:
Kenapa negara cuma jadi penonton? Kenapa pemerintah nggak bikin aja aplikasi transportasi online sendiri, yang benar-benar berpihak ke rakyat?
Kenapa Ojol Demo? Ini Isi Tuntutannya
Aksi ini bukan sekadar soal tarif kecil. Ini soal hidup. Para driver mengaku pendapatannya makin tertekan karena:
Potongan aplikasi yang terlalu besar (kadang sampai 20–30% per order),
Promo-promo “hemat” bikin tarif makin murah,
Beban bensin, motor, dan HP semua ditanggung sendiri,
Status mereka cuma “mitra” yang nggak punya hak layaknya pekerja tetap.
Mereka minta agar potongan aplikasi dibatasi maksimal 10%, promo hemat dihapus, dan yang paling penting: dibuat undang-undang khusus yang mengatur transportasi online.
Analisis Masalah yang Sebenarnya
Selama ini driver ojol dianggap mitra, bukan pegawai tetap. Artinya:
- Mereka nggak dapat gaji tetap,
- Nggak dapat jaminan sosial atau BPJS,
- Nggak punya hak cuti atau tunjangan,
- Tapi… mereka tetap harus ikut aturan perusahaan.
Mirisnya, aturan soal transportasi online cuma diatur lewat surat keputusan menteri, bukan undang-undang. Jadi gampang banget berubah. Ini bikin nasib driver tergantung mood perusahaan dan pemerintah.
Status “mitra” ini secara praktik sering disalahgunakan, menciptakan relasi kerja sepihak tanpa tanggung jawab sosial dari perusahaan. Hal ini menjadi celah hukum yang belum dijawab tuntas oleh negara.
Belum Ada Undang-Undang Transportasi Online
Hingga 2025, belum ada UU khusus yang mengatur transportasi online. Aturan masih bersifat sektoral melalui permenhub atau peraturan menteri, yang lemah secara yuridis karena bisa berubah sewaktu-waktu.
Pasal 28D UUD 1945 menjamin kepastian hukum yang adil. Ketika tidak ada UU yang secara khusus melindungi pengemudi ojol, maka negara dianggap lalai memberikan kepastian hukum pada pekerja sektor digital.
Kenapa Negara Nggak Bikin Aplikasi Sendiri?
Coba bayangin kalau Indonesia punya aplikasi ojol sendiri yang dikelola pemerintah:
🚀 Keuntungan buat rakyat, bukan investor asing
💼 Bisa jadi lapangan kerja langsung di bawah negara
📱 Tarif bisa diatur lebih adil
📊 Transparansi algoritma—nggak ada lagi pengaturan sepihak soal tarif dan order
Negara punya infrastruktur TI, anggaran, dan SDM. Kenapa nggak dipakai buat bikin aplikasi ojol nasional?
Mengapa Negara Tidak Membuat Aplikasi Ojol Sendiri?
Pertanyaan Kritis:
Mengapa Indonesia, dengan sumber daya TI, anggaran APBN, dan visi ekonomi digital, tidak membuat aplikasi transportasi online publik seperti Gojek atau Grab?
Potensi Keuntungan Bila Negara Membuat Aplikasi:
Regulasi yang berpihak pada pengemudi: Negara bisa menetapkan tarif adil tanpa tekanan kapital.
Mensejahterakan rakyat langsung: Keuntungan aplikasi kembali ke rakyat, bukan ke investor asing.
Mengurangi pengangguran: Negara dapat mengatur rekrutmen tenaga kerja berbasis wilayah.
Luar Negeri Bisa, Masa Kita Nggak?
Pro dan Kontra Aplikasi Transportasi Milik Negara
✅ Pro:
- Sumber pendapatan negara baru dari sektor ekonomi digital.
- Mengakhiri dominasi korporasi asing di sektor strategis.
- Menyediakan tarif yang adil dan transparan.
- Bisa terintegrasi dengan layanan publik lain seperti KTP digital, kartu prakerja, subsidi BBM.
❌ Kontra:
- Potensi inefisiensi birokrasi jika tidak dikelola profesional.
- Butuh investasi awal besar dan SDM teknologi yang mumpuni.
- Bisa memunculkan konflik kepentingan antara negara dan perusahaan swasta.
Beberapa negara udah mulai ambil langkah:
India bikin ONDC, jaringan digital buat lawan dominasi platform besar.
Estonia punya sistem transportasi publik digital yang canggih dan terintegrasi.
Tiongkok dukung penuh Didi Chuxing, yang jadi raksasa transportasi digital lokal.
Indonesia harusnya bisa juga. BUMN bisa jadi tulang punggung. Kolaborasi sama anak-anak muda IT Tanah Air? Bisa banget!
Solusinya Apa? Ini Rekomendasinya
✅ Sahkan Undang-Undang Transportasi Online biar driver punya kepastian hukum
✅ Bangun aplikasi ojol nasional di bawah BUMN atau koperasi rakyat
✅ Perjelas status kerja driver—bukan cuma mitra, tapi pekerja dengan perlindungan
✅ Libatkan publik dalam pembuatan aturan biar lebih transparan dan adil
Sudah Waktunya Negara Hadir
Aksi driver ojol ini bukan sekadar soal tarif. Ini jeritan dari sektor informal digital yang selama ini berjalan tanpa perlindungan. Perusahaan makin besar, driver makin tertekan.
Sudah saatnya negara nggak cuma jadi wasit. Negara harus turun ke lapangan, bikin aplikasi sendiri, dan pastikan semua rakyat dapat keadilan di era digital ini.
Karena dalam ekonomi digital yang sehat, teknologi harus memanusiakan manusia—bukan sekadar mencari untung.
Jika kamu suka tulisan ini, bantu share biar lebih banyak orang paham soal pentingnya keadilan digital.
Punya ide atau komentar? Tulis di bawah, yuk kita diskusi!