Berita

Penulisan Ulang Sejarah Indonesia: Upaya Pemerintah Menyusun Sejarah Baru yang Kontroversial

Penulisan Ulang Sejarah Indonesia: Upaya Pemerintah Menyusun Sejarah Baru yang Kontroversial
ilustrasi Ai
- +
14px

QAPLO – Menteri Kebudayaan Fadli Zon memimpin proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang mencakup 11 jilid. Meskipun bertujuan untuk menyelaraskan pengetahuan sejarah dengan temuan terbaru, proyek ini memicu pro dan kontra di masyarakat. Apa saja yang terkandung dalam proyek besar ini? Simak ulasan lengkapnya.

Penulisan Ulang Sejarah Indonesia: Proyek Besar yang Menyulut Kontroversi

Pada tahun 2025, Indonesia tengah menjalankan sebuah proyek besar yang bertujuan untuk menulis ulang sejarah bangsa. Di bawah pimpinan Menteri Kebudayaan Fadli Zon, proyek ini mengusung visi untuk membentuk “sejarah resmi” yang akan mempengaruhi cara pandang generasi mendatang terhadap identitas nasional. Namun, proyek ini bukan tanpa tantangan. Pro dan kontra bermunculan dari berbagai kalangan yang mempertanyakan orientasi dan tujuan penulisan ulang tersebut.

Tujuan dan Proyek Raksasa Ini: Rekonstruksi Sejarah Indonesia

Fadli Zon mengungkapkan bahwa anggaran untuk penulisan ulang sejarah Indonesia mencapai Rp 9 miliar, dana yang digunakan untuk menyusun 11 jilid buku sejarah yang meliputi dari awal Nusantara hingga era Reformasi. Proyek ini melibatkan 113 penulis yang berasal dari berbagai disiplin ilmu, seperti sejarawan, arkeolog, ahli geografi, hingga ahli arsitektur. Para penulis ini mewakili keberagaman wilayah Indonesia, dari Aceh hingga Papua.

Sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk reinventing Indonesian identity, penulisan ulang ini bertujuan untuk menghilangkan bias kolonial dan menyajikan sejarah Indonesia dalam perspektif Indonesia-sentris, yaitu dari sudut pandang bangsa yang merdeka dan berdaulat. Fadli Zon sendiri menegaskan bahwa buku sejarah ini akan mencakup berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia, seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Proyek ini diharapkan dapat menghidupkan kembali semangat kebangsaan dan rasa cinta Tanah Air, serta memperbaiki pemahaman tentang sejarah bangsa Indonesia yang seringkali dipandang dengan kacamata kolonial.

Kontroversi: Kritik terhadap Sejarah “Resmi”

Namun, meskipun proyek ini mendapat dukungan dari sejumlah kalangan, tidak sedikit yang mengkritiknya. Salah satu kritik utama yang muncul adalah penggunaan istilah “sejarah resmi”. Beberapa ahli sejarah, seperti arkeolog Harry Truman Simanjuntak, menganggap bahwa penggunaan istilah ini berisiko mengarah pada manipulasi sejarah. Menurutnya, sejarah tidak seharusnya dianggap sebagai sesuatu yang dapat dikendalikan oleh pemerintah atau kekuasaan, melainkan harus berdasarkan pada fakta dan data yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Di sisi lain, Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, menganggap penulisan ulang sejarah ini sebagai bentuk kultus individu dan glorifikasi masa lalu yang tidak sehat. Baginya, sejarah yang “direduksi” dan hanya disampaikan dari satu perspektif akan mengurangi kebebasan berpikir dan menumpulkan daya kritis generasi mendatang.

Proses Penulisan dan Uji Publik

Proyek ini telah dimulai sejak Januari 2025 dan diperkirakan akan selesai pada 17 Agustus 2025, tepat pada peringatan HUT Kemerdekaan Indonesia ke-80. Fadli Zon menyebutkan bahwa progres penulisan saat ini sudah mencapai lebih dari 50 persen. Bahkan, ada beberapa jilid yang sudah mencapai 100 persen selesai. Sebagai bagian dari proses transparansi, Kementerian Kebudayaan akan membuka uji publik pada Juni atau Juli 2025 untuk memperdebatkan draf buku sejarah ini. Proses uji publik ini diharapkan dapat melibatkan berbagai ahli dari berbagai disiplin ilmu.

Kritik Mengenai Penghapusan Peristiwa Sejarah

Salah satu isu yang menjadi sorotan dalam proyek penulisan ulang sejarah ini adalah tuduhan bahwa pemerintah ingin menghapus beberapa peristiwa sejarah yang tidak sesuai dengan kepentingan politik. Salah satunya adalah anggapan bahwa peristiwa Kongres Perempuan 1928 akan dihapus dari catatan sejarah. Fadli Zon dengan tegas membantah hal tersebut dan menyatakan bahwa justru mereka ingin memperkuat keterlibatan perempuan dalam sejarah Indonesia.

Selain itu, beberapa pihak juga menilai bahwa penulisan ulang ini dapat meminggirkan peran tokoh-tokoh tertentu yang tidak sejalan dengan narasi kekuasaan. Bonnie Triyana, anggota Komisi X DPR, menilai bahwa labelisasi terhadap kelompok yang mengkritik proyek ini, seperti “sesat sejarah” atau “radikal”, adalah hal yang tidak tepat. Baginya, kritik terhadap sejarah harus diterima dengan terbuka, tanpa harus melabeli pihak yang tidak sepakat.

Perspektif Indonesia-Sentris: Menemukan Kembali Jati Diri Bangsa

Menteri Fadli Zon menegaskan bahwa penulisan ulang sejarah Indonesia ini penting karena dapat membantu menegaskan otonomi sejarah dan menciptakan identitas nasional yang kuat. Dalam pandangannya, sejarah bukan hanya sekadar catatan masa lalu, tetapi juga jembatan yang menghubungkan identitas bangsa dengan perjuangan kolektif. Salah satu tujuan utama dari proyek ini adalah untuk menjawab tantangan kekinian dan globalisasi, serta memastikan bahwa generasi muda memiliki pemahaman yang lebih baik tentang perjalanan bangsa Indonesia.

Apa yang Dapat Diharapkan dari Buku Sejarah Ini?

Buku sejarah yang dihasilkan dari proyek ini akan terdiri dari 10 jilid, masing-masing mencakup berbagai periode penting dalam sejarah Indonesia. Beberapa topik yang akan dibahas antara lain adalah sejarah awal Nusantara, interaksi dengan India, China, Timur Tengah, pergerakan kebangsaan, perang kemerdekaan, Orde Baru (1967-1998), hingga era Reformasi (1999-2024). Meskipun demikian, Fadli Zon mengakui bahwa karena cakupan sejarah yang luas, buku ini hanya akan menyajikan garis besar sejarah, bukan detail yang terlalu rinci.

Sebuah Langkah Besar atau Manipulasi Sejarah?

Penulisan ulang sejarah Indonesia ini merupakan langkah besar yang dapat memberikan dampak jangka panjang bagi identitas nasional bangsa. Namun, kontroversi yang muncul menunjukkan betapa rumitnya upaya untuk menulis ulang sejarah yang dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Sejarah bukanlah hal yang statis, dan berbagai pandangan harus diberi ruang untuk berkembang.

Apakah proyek ini akan berhasil menghidupkan kembali jati diri Indonesia, atau justru akan menambah perpecahan? Hanya waktu yang akan menjawab, namun yang pasti, penulisan ulang sejarah Indonesia akan terus menjadi topik perdebatan yang menarik untuk diikuti.

Referensi:

  • Tempo, 26 Mei 2025
  • Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE