Grab buka suara terkait demo tuntutan bagi hasil 90% dari driver ojol. KSPSI dorong pengakuan status pekerja. Simak polemik transportasi online Indonesia.
Qaplo, JAKARTA — Tuntutan para pengemudi ojek online (ojol) kembali menggema. Dalam aksi damai bertajuk ‘Aksi Kebangkitan Jilid II Transportasi Online Nasional 217’ di kawasan Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Senin (21/7/2025), para driver mendesak pembagian hasil 90% untuk pengemudi dan hanya 10% bagi aplikator seperti Grab.
Menanggapi tuntutan ini, Chief of Public Affairs Grab Indonesia, Tirza Munusamy, menegaskan bahwa Grab menghargai penyampaian aspirasi secara tertib dan sah. Ia menyebut Grab terus berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan dan pihak terkait demi merumuskan kebijakan transportasi daring yang adil dan berkelanjutan.
“Sudah lebih dari tiga tahun belum ada penyesuaian biaya jasa, padahal biaya hidup dan operasional Mitra Pengemudi meningkat. Kajian terhadap struktur biaya jasa sangat krusial agar ekosistem transportasi daring tetap berkelanjutan,” ujar Tirza.
Grab menyatakan bahwa usulan pembagian 90:10 tidak sejalan dengan prinsip keberlanjutan karena komisi saat ini digunakan untuk mendanai berbagai layanan pendukung, seperti:
- Layanan bantuan 24/7 dan darurat (GrabSupport)
- Asuransi kecelakaan bagi Mitra dan pengguna
- Pendidikan dan pelatihan (GrabAcademy)
- Program kesejahteraan (GrabBenefits, GrabScholar, pelatihan wirausaha)
“Kami juga menggelar program loyalitas dan subsidi tarif agar layanan tetap terjangkau dan penghasilan Mitra tetap kompetitif,” tambahnya.
Sementara itu, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) turut menyuarakan pentingnya perubahan status ojol dari mitra menjadi pekerja. Ketua Umum KSPSI, Mohammad Jumhur Hidayat, menyebut status pekerja akan memberikan kejelasan hukum, perlindungan, dan jaminan sosial bagi driver.
“Sudah waktunya driver ojol diakui sebagai pekerja, bukan sekadar mitra. Negara seperti Inggris dan Spanyol bahkan telah menetapkan status pekerja bagi driver platform digital sejak 2021,” jelas Jumhur di Yogyakarta, Sabtu (19/7/2025).
Ia mengkritik kemitraan ojol yang dinilai lemah dan berpotensi dimanfaatkan untuk menghindari tanggung jawab sosial. KSPSI mendorong agar semua driver mendapat hak-hak dasar meski dengan sistem kerja fleksibel.
Di sisi lain, Deputy CEO GoTo, Catherine Hindra Sutjahyo, menegaskan bahwa fleksibilitas justru menjadi kekuatan utama industri ini. Banyak pengemudi memilih menjadi ojol karena tidak terikat jam kantor. Hal senada diungkap Tirza dari Grab, yang menyebut fleksibilitas sebagai “marwah” profesi ojol.
“Mengubah status menjadi pekerja tetap justru menghilangkan esensi fleksibilitas yang diinginkan banyak mitra. Setidaknya 50% mitra Grab adalah masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan tetap atau korban PHK,” tegas Tirza.
Hingga kini, operasional Grab tetap berjalan normal meski ada aksi demonstrasi. Tirza mengklaim 99% mitra tetap aktif dan sistem Grab secara otomatis mengalihkan pesanan jika terdapat gangguan layanan di lapangan.
Polemik antara fleksibilitas dan hak-hak dasar pekerja di sektor transportasi daring Indonesia masih terus bergulir. Apakah akan ada reformasi besar dalam struktur kerja driver ojol? Waktu dan kebijakan pemerintah akan menentukan.