Ketegangan geopolitik akibat serangan AS ke fasilitas nuklir Iran mengguncang pasar keuangan global. IHSG terkoreksi tajam, rupiah tertekan, dan harga minyak dunia melonjak. Simak analisis lengkap sentimen pasar pekan ini.
Qaplo – JAKARTA — Ketegangan geopolitik global yang dipicu oleh serangan militer Amerika Serikat ke tiga fasilitas nuklir Iran memberikan tekanan besar terhadap pasar keuangan Indonesia dan dunia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang pekan yang berakhir Jumat (20/6/2025) terkoreksi tajam sebesar 3,61% dan ditutup di level 6.907,13. Ini menghapus hampir separuh penguatan IHSG selama Mei lalu yang sempat mencatat kenaikan 6%.
Tekanan semakin diperparah oleh aksi jual investor asing yang signifikan, dengan total net sell sebesar Rp2,73 triliun di semua segmen pasar. Pelepasan terbesar terjadi pada saham perbankan big caps seperti BBCA, BMRI, BBRI, dan BBNI. Sementara satu-satunya saham yang mencatat net buy terbesar adalah AADI, imbas dari rebalancing konstituen FTSE edisi Juni 2025.
Di pasar valas, rupiah melemah 0,55% sepekan ke level Rp16.380 per dolar AS. Penguatan indeks dolar (DXY) sebesar 0,53% turut menekan mata uang Garuda, diperparah oleh sikap hawkish The Fed yang tetap mempertahankan suku bunga tinggi tanpa penurunan sepanjang semester pertama 2025.
Pelemahan rupiah dan tekanan pasar juga terlihat di sektor obligasi. Yield obligasi pemerintah RI tenor 10 tahun naik 5,7 basis poin menjadi 6,75%, menandakan aksi jual oleh investor. Naiknya yield berarti harga obligasi turun dan investor cenderung melakukan profit taking.
Geopolitik Timur Tengah Makin Memanas, Minyak Melonjak
Serangan AS ke situs nuklir Iran di Fordow, Natanz, dan Isfahan menjadi pemicu utama kepanikan pasar. Iran merespons dengan rencana penutupan Selat Hormuz, jalur vital pengiriman 20% minyak dunia. China sebagai mitra dagang Iran, didesak AS untuk meredam langkah ekstrem ini.
Jika penutupan Selat Hormuz terjadi, beberapa proyeksi menyebut harga minyak bisa menembus US$240 per barel (Macquaite) hingga US$130 (Bloomberg). Kenaikan harga ini berpotensi mendorong inflasi AS hingga 3,9% secara tahunan, mengganggu ekspektasi pemangkasan suku bunga global.
Di Indonesia, kenaikan harga minyak menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ini menguntungkan emiten migas seperti ESSA, MEDC, dan ELSA. Di sisi lain, membebani subsidi BBM dan belanja negara.
Wall Street Ikut Melemah, Pasar Masih Risk-Off
Pasar saham AS juga mengalami tekanan. S&P 500 turun 0,22%, Nasdaq terkoreksi 0,51%, hanya Dow Jones yang naik tipis. Saham teknologi seperti Nvidia menjadi pemberat utama, ditambah kekhawatiran intervensi AS di Timur Tengah.
The Fed memperingatkan risiko inflasi dari tarif tambahan dan tensi geopolitik. Powell, Waller, dan Barkin mengisyaratkan sikap hati-hati terhadap penurunan suku bunga. Pasar pun cenderung risk-off dan memilih instrumen safe haven seperti emas dan energi.
Agenda Ekonomi Pekan Ini: Core PCE, GDP AS, dan Dividen PTBA
Pekan ini, pelaku pasar akan mencermati rilis data Core PCE dan GDP AS kuartal I. Jika inflasi tetap tinggi, peluang pemangkasan suku bunga akan semakin kecil. Chairman Jerome Powell juga akan menyampaikan laporan kebijakan moneter setengah tahunan ke Senat dan DPR AS.
Dari dalam negeri, Bank Indonesia akan merilis data uang beredar (M2) Mei 2025. Sebelumnya, M2 April tercatat Rp9.390 triliun, tumbuh 5,2% (yoy). Sementara di bursa, 17 emiten membagikan dividen hari ini, termasuk PTBA dengan yield di atas 11%.
Kabar Baik: Kode Domisili Akan Dibuka Kembali
Otoritas Bursa berencana membuka kembali kode domisili investor secara parsial mulai Juli 2025. Data aliran dana investor akan tersedia lebih cepat, yaitu sejak akhir sesi I perdagangan. Langkah ini dinilai akan meningkatkan transparansi dan likuiditas pasar.
Selain itu, akan dikaji ulang kebijakan lot saham dan dibukanya kode broker secara real-time. Reformasi ini menjadi sinyal positif untuk meningkatkan kepercayaan investor ritel dan institusi dalam perdagangan saham domestik.
Kesimpulan: Risiko Tinggi, Tetap Waspada
Dengan latar belakang geopolitik yang panas, harga minyak yang melonjak, dan potensi inflasi tinggi, pasar keuangan global dan domestik berada dalam tekanan besar. Investor disarankan tetap waspada dan selektif dalam memilih instrumen investasi, sambil mencermati sentimen data dan arah kebijakan bank sentral dunia.